Social Entrepreneurship

Social entrepreneurship, atau jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah kewirausahaan sosial. Pernahkah anda mendengar hal ini? Saya lupa kapan dan apa yang menyebabkan saya tertarik dengan konsep ini. Yang jelas, hal tersebut menggiring saya untuk memiliki cita-cita baru, membangun komunitas berbasis social entrepreneurship. Indonesian Youth Project (IYP) merupakan perwujudan cita-cita tersebut. Sayangnya, karena kesibukan saya dan kedua teman lainnya program-program yang senyatanya ingin kami wujudkan, belum dapat terlaksana. Insya Allah, 1,5 tahun lagi setelah saya lulus kuliah, saya ingin kembali membangun mimpi itu kembali. Dengan ilmu saya sebagai psikolog nantinya, saya juga ingin membangun sekolah subsidi silang, orang-orang yang mampu membayar lebih untuk menanggung beban murid-murid lain yang orangtuanya tidak mampu untuk membayar sekolah dengan kualitas baik. Dan lagi-lagi itu juga tercakup dalam konsep social entrepreneurship.

Lalu sebenarnya apa sih social entrepreneurship itu? 

Tahun kemarin, ketika saya sedang giat-giatnya mencari ilmu mengenai social entrepreneurship, saya dipertemukan dengan orang-orang yang sudah menjalani konsep bisnis ini. Yang lebih menyenangkan lagi, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti seminar dan workshop mengenai social entrepreneurship yang diadakan oleh British Council. Saat itu bertema kewirausahaan sosial berbasis komunitas. Untuk lebih jelasnya, British Council juga dengan baik hatinya sudah menyiapkan file-file yang dapat diunduh, dan disini serta mereka juga membuka kompetisi untuk para social entrepreneur. Saya sendiri mendapat banyak pelajaran berharga dari seminar dan workshop ini. Saya akan coba rangkum konsep ini sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan saya.

Di Indonesia, konsep social entrepreneurship bukanlah hal yang familiar. Banyak orang yang ternyata menjalankan bisnis dengan konsep ini, tetapi tidak menyadarinya. Jadilah ada orang-orang yang memiliki PT, CV, dan bentuk perusahan lainnya, dan setelah ditelusuri merupakan social entrepreurship. Bahkan mereka tidak tahu bisnis yang mereka jalankan merupakan jenis social entrepreneurship. Inggris, merupakan salah satu negara yang mantap menerjemahan konsep social entrepreneurship, bahkan bidang ini menyumbangkan 8,4 miliar poundsterling terhadap perkekonomian Inggris setiap tahunnya. Jadi, kalau yang tertarik, tidak ada salahnya untuk berguru di Inggris (saya sendiri memiliki mimpi untuk mengambil Skoll Scholarship agar dapat masuk ke jurusan social entrepreneurship Oxford MBA di Saïd Business School). 

Social entrepreneurship sendiri dapat diartikan sebagai usaha yang memiliki tujuan sosial. Salah satu contoh socialentrepreneur adalah salah seorang pemilik hotel yang menghibahkan hotelnya untuk para tunawisma. Tuna wisma ini digaji sebagai pegawai hotel. Setelah mereka mandiri dari gaji yang dikumpulkan selama menjadi pegawai hotel, mereka harus keluar dan memulai hidup yang baru, lalu digantikan oleh tuna wisma lainnya. Contoh lainnya adalah seseorang yang melakukan bisnis, lalu keuntungannya digunakan untuk yayasan. Yayasan ini bergerak untuk memberdayakan orang-orang yang tidak mampu. Dari dua contoh diatas (contoh lain dapat dilihat di link BC diatas) terlihat bahwa social entrepreneurship memiliki ciri yang tidak dimiliki bisnis-bisnis lain, yaitu memberdayakan orang-orang yang tidak mampu

Seperti jenis bisnis yang lain, tujuan social entrepreneur juga mencari keuntungan, tetapi yang berbeda adalah penyaluran dan untuk apa keuntungan itu digunakan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencapai keuntungan tersebut, seperti :

–          Pengeluaran kalau bisa tidak dihabisan di luar komunitas

Contoh : memberdayakan masyarakat di sebuah daerah pedalaman yang belum tersentuh listrik. Awalnya, mereka menggunakan jenset untuk mengatasi masalah ini, tetapi jenset tersebut mahal dan menyerap dana cukup besar, dan yang paling penting pengeluaran tersebut larinya di luar komunitas (ke pemiliki jenset). Setelah itu, mereka beralih membuat listrik sendiri yang dapat mengurangi pengeluaran yang larinya keluar komunitas.

–          Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dengan memperlihatan contoh sukses

Masyarakat yang dibina tidak semuanya mau berkomitmen untuk mencapai tujuan bersama. Untuk meningkatkan motivasi mereka, ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah mengkalkulasi keuntungan yang didapat jika mereka mau berkomitmen dengan program yang sudah dirancang, lalu perlihatkan contoh orang yang sukses membeli motor, misalnya, dengan total pendapatan setara dengan yang akan mereka dapatkan. Hadirkan orang sukses tersebut secara riil, dan minta mereka sendiri yang berbicara. Hal tersebut lebih mengena dibandingkan Anda yang berbicara mewakili pengalaman mereka.

–          Selain menambah pendapatan, pikirkan juga improving economy (mengurangi pengeluaran atau mengalihkan pengeluaran untuk menjadi tanggungjawab bersama

Contoh : Biaya penggunaan internet di 1 rumah ± Rp. 300.000. untuk menghemat, organisir agar menjadi satu internet saja di komunitas tersebut, dengan satu rumah memiliki kode-kode tertentu untuk dapat mengakses internet. Hal tersebut dapat menghemat sampai beberapa juta.  

–          Kenali dan siasati stakeholder

Stakeholder ini dapat dibagi menjadi 3, primary, secondary, dan tertiary. Primary adalah pihak-pihak yang langsung mempengaruhi keuntungan, bisa konsumen, investor, atau staf. Secondary adalah pihak-pihak yang mempengaruhi proses secara langsung, seperti suplier, penasehat, komite. Tertiary adalah pihak-pihak yang tidak secara langsung mempengaruhi,seperti competitor, pembuat keputusan seperti pemerintah, dan media.

–          Lakukan audit sosial      

Walaupun bertujuan sosial, social entrepreneurship juga sebaiknya melakukan audit sosial. Konsep audit sosial ini sebenarnya merupakan konsep yang baru. Awalnya, social entrepreneurship tidak begitu dipercaya oleh pemberi dana karena ketidakpastian bisnis di masa yang akan datang. Hal ini membuat social entrepreneurship tidak begitu berkembang, karena sulitnya untuk memulai dengan dana yang minim. Setelah adanya audit sosial, yaitu mengkalkulasi pengeluaran dan keuntungan yang didapat, lebih banyak pemberi dana yang mau meminjamkan bahkan mendonasikan sejumlah uang.     

Cukup ya segitu dulu, kalau ada yang mau bertanya boleh loh, walaupun saya juga masih dalam tahap belajar. Lebih jelasnya, bisa juga lihat di link BC yang sudah saya berikan sebelumnya. Saat ini, ada banyak juga anak muda yang tergerak untuk menjalankan social entrepeneurship. Walaupun tidak tahu apa namanya dan bagaimana bentuknya. Nah, semoga uraian diatas dapat sedikit banyak membantu ya. Yuk, kita memajukan jiwa wirausaha, dan utamanya wirausaha sosial di Indonesia. Cheers 🙂