#SexEdu

sex

Akhir-akhir banyak orang tua bertanya ke saya tentang sex education, yaitu apakah perlu Sex Education? Jawabannya : Perlu!

Sebelum menjawab alasannya, ijinkan saya untuk mengenalkan dulu sex education seperti apa yang saya maksud. Sebenarnya saya sudah pernah menyinggung tentang bahasan ini disini dan disini. Namun untuk merangkumnya dapat dikatakan bahwa sex education tidak hanya meliputi hal-hal seputar intercourse tapi juga pengenalan jenis kelamin.

Sex education paling awal dapat melalui pengajaran anatomi tubuhnya dengan bahasa yang sederhana. Apa bedanya laki dan perempuan. Termasuk anak laki-laki diajarkan kalau ia memiliki penis dan anak perempuan memiliki vagina. Saya lebih setuju penamaan alat kelamin tidak memakai istilah-istilah tertentu. Sama seperti saat mengajarkan anggota tubuh yg lain. Kita tidak menyebut mata sebagai si bundar, tangan si panjang, dst., bukan? Dengan menyebut alat kelamin dengan nama yang sebenarnya, ada beberapa keuntungan. Anak tidak merasa alat kelamin adalah sesuatu yang ia malu untuk memilikinya, karna memang sudah kodratnya sebagai manusia ia punyai. Anak juga tidak merasa hal yang tabu atau dilarang untuk mendiskusikan perihal sex dengan orang tuanya.

Setelah anak sudah mengerti tentang anggota tubuhnya, penjelasan meningkat pada siapa yang boleh menyentuh bagian tubuhnya. Hal ini bisa diajarkan melalui analogi. Misalnya analogi lampu lalu lintas.

Lampu hijau artinya bagian tubuh yang boleh disentuh oleh siapapun. Misalnya : tangan saat bersalaman.

Lampu kuning artinya adalah bagian tubuh yang hanya boleh disentuh oleh anggota keluarga saja. Misalnya : berpelukan.

Lampu merah untuk bagian yang hanya boleh disentuh anak sendiri, dan tidak ada orang lain yang boleh menyentuhnya. Misalnya : alat kelamin. Kecuali saat-saat tertentu, seperti dokter saat anak sakit atau orang tua karena anak belum dapat mandi atau membersihkan alat kelaminnya sendiri.

Sebaiknya saat memberikan analogi ini benar-benar dalam bentuk kongkrit, yaitu ada gambar lampu lalu lintas, dan di setiap warna ada bagian tubuh yang menyimbolkan warna tersebut. Tujuannya agar anak lebih mudah memahami dan mengingat, karena diberikan dalam bentuk kongkrit.

 

Setelah anak sudah paham, ajarkan tindakan yang harus ia lakukan saat ada orang lain yang akan memegang bagian tubuhnya yang termasuk warna merah atau kuning. Jika perlu orang tua dan anak bermain peran tentang hal tersebut. Agar anak lebih memahami, dan juga orang tua dapat mengecek pemahaman anak.

Saat menyampaikan mengenai topik ini sebaiknya orang tua santai dan tidak terlihat tegang. Boleh juga sebelumnya orang tua saling berlatih satu sama lain sebelum mendiskusikan hal ini dengan anak.

Sebaiknya juga ada pembagian tugas penyampaian, yaitu ayah menyampaikan pada anak laki-laki, dan ibu pada anak perempuan.

Jika masih bingung, bisa juga penyampaiannya dengan bantuan buku. Misalnya buku berjudul ‘Changing You!’ oleh Dr. Gail Saltz

20140421-184535.jpg

Nah, jika memang topik mengenai sex education ini disampaikan dengan tepat. Maka hal positif yang akan terjadi, seperti :

1) Anak lebih terbuka dengan orang tua mengenai topik ini, sehingga ketika ia (secara tidak sengaja) melihat hal-hal terkait dengan sex, ia akan langsung bertanya pada orang tua, dan bukan bertanya pada teman-temannya yang mungkin justru menggiring pada informasi yang salah.

2) Jika ada orang-orang yang akan berbuat ke arah pelecehan seksual, anak akan lebih waspada dan tahu hal yang tepat yang harus ia lakukan. Dengan kata lain membuat anak ‘mempresenjatai’ dirinya dari hal-hal buruk yang mungkin terjadi di sekitarnya.

Tinggalkan komentar