Ranking

Di sekolahnya Hashfi, saat memasuki kelas 2 SD, ada satu kelas yang dikhususkan untuk anak-anak yang pada saat kelas 1 SDnya rangking atas (sekitar rangking 1-5). Hashfi termasuk di dalamnya. Saat bagi rapor kemarin, seperti yang sudah diduga, semua anak di kelas tersebut nilai rata-ratanya lebih dari 90, dan dengan selisih angka yang sangat kecil, bahkan hanya 0, sekian. Saat bagi rapor tersebut, semua anak dapat mengetahui ia rangking berapa beserta nilainya.

Perlu tidak sih sebenarnya pengelompakan seperti ini, kata saya dalam hati. Kalau pun memang ingin menyaring anak-anak berbakat, kenapa juga harus dari kelas 2 SD, kenapa tidak dimulai dari kelas 3 atau 4 SD, ketika mereka sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Lagipula haruskah anak dijejalkan dengan konsep menang dan kalah seperti ini? Saya tidak dapat membayangkan perasaan anak yang mendapat peringkat terakhir di kelas ini, padahal sebelumnya saat di kelas 1 SD ia adalah juara kelas, dan padahal rata-rata nilai yang ia capai lebih dari 90. Bukan tidak mungkin, peristiwa seperti ini dapat membuat ia putus asa dan melunturkan semangatnya untuk berkompetisi. Hal ini pun dikuatkan dengan adanya sistem ranking. Okelah kalau memang ingin ada kelas untuk menyaring anak berbakat sejak dini, namun kenapa harus aa sistem ranking? Kalaupun ingin ada ranking, kenapa tidak ranking tersebut untuk evaluasi guru saja, dan tidak disebar luas ke anak maupun orang tua. Tidakkah mereka berpikir anak yang mendapat rangking terbawah dapat menjadi minder, padahal kalau ditilik lebih jauh, nilainya tidak berbeda jauh dari yang rangking pertama?

Tinggalkan komentar